Masjid, sebagaimana umumnya, berfungsi sebagai tempat beribadah di samping tempat berkumpul dan bermusyawarah jemaahnya. Namun, Masjid Assyuro yang terletak di Cipari, Desa Sukarasa, Kecamatan Pangatikan, Kabupaten Garut, punya cerita tersendiri.
Selain sebagai tempat menjalankan ibadah shalat, masjid yang terletak di tengah-tengah lingkungan Pesantren Cipari itu pernah menjadi tempat pengungsian warga dan benteng pertahanan pada masa perang kemerdekaan.
Satu hal yang penting dalam sejarah perjalanan masjid itu ialah perannya yang tidak terpisahkan dari keberadaan Sarekat Islam. Bahkan, tokoh sekaliber Mohamad Roem dan HOS Cokroaminoto konon kerap berkunjung ke masjid tersebut.
Kartosuwiryo, yang belakangan menjadi inisiator gerakan DI/TII dan berbasis di Malangbong, pun tercatat sebagai orang yang cukup sering mampir ke pesantren dan masjid itu.
Sebenarnya, di wilayah Priangan Timur ada masjid serupa yang menjadi saksi sejarah perjalanan suatu kabupaten, yakni Masjid Manonjaya di Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya.
Bedanya, Masjid Manonjaya menjadi saksi perjalanan Kabupaten Sukapura yang di kemudian hari berubah nama menjadi Kabupaten Tasikmalaya, sedangkan Masjid Assyuro merupakan "teman sejati" yang melindungi santri dan warga di sekitarnya pada masa perjuangan kemerdekaan. Perlindungan itu tidak hanya berlangsung ketika bangsa ini melawan penjajah, tetapi juga saat pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo.
Menurut Salaf Soleh (60), salah seorang pengurus Pesantren Cipari, masjid itu sudah ada sejak pesantren berdiri. Namun, saat itu ukuran dan bentuknya masih sederhana.
Soleh menceritakan, pada masa lalu tidak banyak rumah penduduk yang ada di sekitar masjid tersebut, hanya satu-dua. Itu pun bentuknya panggung, sederhana, dan terbuat dari bilik bambu.
Pesantren Cipari kala itu dipimpin KH Yusuf Tojiri yang meneruskan tugas ayahnya, KH Haramaen, selaku pendiri pesantren. Pesantren tersebut memiliki peran yang tidak bisa dikesampingkan dalam dunia pergerakan kemerdekaan pada masa itu.
Ulama dari pesantren ini memiliki pengaruh yang tidak kecil di Jawa Barat. Barangkali perannya yang sentral dalam perjuangan itulah yang menyebabkan banyak santri dari berbagai penjuru Nusantara berdatangan untuk belajar di pesantren itu.
Seiring dengan berkembangnya pesantren, jumlah anggota jemaah pun bertambah sehingga mau tidak mau ruangan masjid diperbesar. Saat itu, para ulama pesantren sepakat pembangunan masjid diserahkan kepada Abi Kusno.
Rehabilitasi masjid yang dikerjakan secara gotong royong itu akhirnya berlangsung sesuai dengan yang diharapkan karena semangat para santri Cipari untuk membangun tempat itu. Kapur tembok untuk pembangunan masjid, misalnya, dibawa secara estafet oleh warga dan santri dari Stasiun Wanaraja ke Cipari yang berjarak sekitar 4 kilometer.
Setelah pembangunan masjid selesai, para ulama baru tersadarkan oleh bentuk masjid yang dinilai "aneh". Ini karena bentuknya tidak seperti masjid pada umumnya. Dari aspek desain, arsitektur masjid yang terkenal dengan nama Masjid Cipari itu justru mirip gereja dan berlanggam art deco.
Bangunan masjid tersebut berbentuk seperti balok memanjang dari timur ke barat lengkap dengan menara berlantai empat. Langgam art deco yang ada pada masjid lebih identik dengan bangunan-bangunan Belanda.
Langgam art deco yang ada terlihat jelas pada ornamen sisi luar dinding masjid. Hal itu mengingatkan orang yang melihatnya pada bangunan-bangunan berlanggam serupa di Kota Bandung, yang berasal dari Eropa pada dekade 1920-an dan berkembang luas pada 1930-an. Arsitektur art deco memiliki ciri elemen dekoratif geometris yang tegas dan keras. Adalah kelompok arsitek Amsterdam School dari Belanda yang melahirkan banyak karya berlanggam art deco.
Pesantren Cipari dengan masjidnya yang terletak di tengah-tengah sawah dan kebun itu ternyata juga pernah dipakai untuk Muktamar Sarekat Islam se-Indonesia pada tahun 1933-1934.
Kala itu, di sekitar masjid ada taman dengan pepohonan rindang dan tanaman bunga yang indah. Sayangnya, kini taman itu sudah tiada. Lahan taman sekarang menjadi jalan dan termakan oleh bangunan aula untuk pengajian.
Membayangkan kondisi pada tahun 1936: keberadaan bangunan masjid yang mirip gereja megah di tengah sawah dan kebun, menimbulkan ketakjuban. Pada masa itu sawah dan kebun benar-benar penghias masjid yang memiliki banyak lubang persembunyian (bungker). Masjid tersebut bahkan juga dijadikan tempat penyimpan senjata api karena Pesantren Cipari kala itu memiliki dua batalyon tentara santri.
Pada masa perlawanan terhadap penjajah Belanda dan masa pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo yang berbasis di Kecamatan Malangbong, Masjid Assyuro demikian terasa perannya. Bangunan bertembok tebal itu menjadi benteng pertahanan sekaligus tempat pengungsian warga Cipari.
Bahkan, pada masa pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo, masjid tersebut berfungsi sebagai satu-satunya tempat berlindung warga.
Menara masjid yang berlantai empat cukup strategis untuk mengintai dan dijadikan tempat para santri pejuang menempatkan senapan mesin untuk menghalau serangan musuh.
Bukti adanya pertempuran kala itu setidaknya terlihat dari adanya beberapa lubang bekas tembusan peluru di beberapa bagian menara masjid.
Bahkan, kata Soleh, salah satu lubang di sudut masjid terkena hantaman mortir. Sayangnya, lubang itu sudah ditambal oleh pihak pesantren.
Masjid itu juga konon punya sejarah penting lainnya, yakni dijadikan sebagai tempat untuk menentukan kapan jatuhnya 1 Syawal atau Lebaran. Di menara masjid itu ditempatkan lampu sebagai tanda dimulainya puasa Ramadhan.
Kini Pesantren Cipari masih menjadi tempat untuk belajar, khususnya mengaji dan belajar agama. Sebanyak 200 santri di pesantren itu selain mengaji di pesantren, juga bersekolah di madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah, dan madrasah diniyah. Selain itu, ada pula kelas khusus tahfidz (menghafal) Al Quran.
Semangat para pendahulu yang mengaji di Pesantren Cipari sambil memanggul senjata melawan penjajah selalu diceritakan kepada para santri.
good luck brow.....